ACEH UTARA — Di tengah upaya percepatan penyaluran Dana Desa tahap pertama di seluruh Indonesia, Gampong Beuringen, Kecamatan Meurah Mulia, Aceh Utara, menjadi satu-satunya desa yang secara terang-terangan menolak membentuk Koperasi Merah Putih—program kelembagaan desa yang telah ditetapkan sebagai prasyarat utama pencairan dana desa oleh pemerintah pusat.
Penolakan ini disebut dipicu konflik internal berkepanjangan antara Keuchik (kepala desa) dan sebagian masyarakat. Namun, di mata pemerintah, sikap tersebut mencerminkan ketidakpatuhan terhadap kebijakan pembangunan nasional yang bertujuan memperkuat ekonomi desa secara kelembagaan dan berkelanjutan melalui jalur koperasi.
Camat Meurah Mulia, Abd Rahman, menyebutkan bahwa dari 50 desa yang berada di bawah koordinasinya, 46 desa telah menyelesaikan legalisasi koperasi melalui notaris, sementara tiga lainnya dalam proses melengkapi berkas. “Hanya Beuringen yang secara eksplisit menolak. Ini sangat disayangkan. Koperasi bukan sekadar formalitas, melainkan fondasi untuk membangun tata kelola ekonomi desa yang transparan, partisipatif, dan mandiri,” ujarnya.
Ia menambahkan, “pihak desa bersama Muspika Kecamatan Meurah Mulia telah lima kali mencoba membentuk koperasi, namun seluruh upaya tersebut berujung gagal. Bahkan, spanduk sosialisasi yang telah dicetak justru dirusak oleh sebagian warga sebagai bentuk penolakan”.
Koperasi Merah Putih sendiri merupakan program nasional berbasis kelembagaan yang telah diatur secara hukum melalui Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Program ini bukan hanya kerangka administratif, tetapi menjadi syarat mutlak dalam penyaluran Dana Desa. Artinya, desa yang tidak membentuk koperasi terancam tidak menerima dana yang menjadi hak seluruh warganya.
Tak hanya itu, penolakan tersebut dapat berujung pada sanksi administratif berupa pemblokiran dana, penundaan kegiatan pembangunan, hingga status pembinaan khusus. Jika terbukti ada unsur kesengajaan dalam menghambat program nasional, pemerintah bisa mempertimbangkan sanksi hukum yang lebih berat.
“Saat desa-desa lain berpacu memperkuat ekonomi lewat koperasi, Beuringen justru mandek akibat konflik internal. Padahal koperasi dapat menjadi jalan tengah untuk menyatukan kepentingan, bukan menjadi korban pertikaian,” ujar salah satu masyarakat beuringen yang enggan disebutkan namanya.
Penolakan ini juga mengundang pertanyaan mendasar: siapa yang paling dirugikan dari sikap tersebut? Jawabannya jelas—masyarakat desa itu sendiri.
Akibat Penolakan Koperasi Merah Putih: Masa Depan Desa Terancam
Penolakan pembentukan Koperasi Merah Putih di Gampong Beuringen tidak hanya menjadi preseden buruk dalam pelaksanaan program nasional, tetapi juga menimbulkan dampak nyata dan serius bagi warga desa. Berikut sejumlah konsekuensi konkret yang akan dihadapi:
1. Dana Desa Tahap Pertama Gagal Cair.
Sesuai regulasi terbaru Kementerian Desa, pembentukan koperasi merupakan syarat utama pencairan Dana Desa. Tanpa itu, proses pencairan otomatis tertunda bahkan dibatalkan. Dampaknya, kegiatan pembangunan, bantuan sosial, hingga pemberdayaan ekonomi warga langsung terhenti.
2. Stagnasi Ekonomi dan Pembangunan.
Dana desa selama ini menjadi tulang punggung pembangunan fisik dan sosial di tingkat gampong. Tanpa dana tersebut, bantuan bagi petani, nelayan, UMKM, hingga proyek-proyek seperti pembangunan jalan, posyandu, dan irigasi tidak bisa dilanjutkan.
3. Sanksi Administratif dan Pengawasan Ketat.
Penolakan ini berpotensi membuka ruang bagi intervensi dari pemerintah kabupaten, termasuk status “pembinaan khusus” dan audit oleh inspektorat. Nama baik desa bisa tercoreng, dan kepercayaan publik menurun.
4. Potensi Konflik dan Disintegrasi Sosial.
Perbedaan pandangan terkait koperasi bisa menimbulkan ketegangan horizontal antarwarga. Bila tidak diselesaikan, ini berisiko menimbulkan perpecahan sosial, polarisasi, hingga memicu isolasi desa dari program pembangunan lainnya.
5. Hilangnya Akses ke Program Lain.
Koperasi Merah Putih juga menjadi gerbang untuk berbagai program nasional lainnya, seperti akses Kredit Usaha Rakyat (KUR), pelatihan digitalisasi UMKM, hingga kemitraan dengan BUMN. Tanpa koperasi, desa bisa dikeluarkan dari daftar penerima manfaat program tersebut.
Masa Depan Dipertaruhkan
Penolakan terhadap koperasi bukan sekadar menolak sebuah kelembagaan, melainkan mencerminkan penolakan terhadap sistem tata kelola yang transparan dan berorientasi pada kepentingan bersama. Dalam konteks ini, masyarakat desa yang menolak koperasi justru tengah menyabotase peluang mereka sendiri untuk tumbuh dan berkembang.
Pemerintah tidak dalam posisi memaksa, melainkan mengarahkan agar dana publik dikelola secara bertanggung jawab dan kolektif. Bila penolakan terus dibiarkan, Beuringen berisiko tertinggal jauh dari desa-desa lain yang telah menunjukkan kesiapan dan komitmen untuk maju bersama. [Ms]